Buku

Review Buku Filosofi Teras, Cocok untuk yang Suka Overthinking

Bayangkan, di suatu pagi yang cerah ketika kamu keluar rumah, tiba-tiba tetanggamu lewat dengan wajah ketus. Bayangkan, ketika sedang berkendara di jalan tiba-tiba ada kambing lewat yang menabrakkan diri ke kendaraanmu sehingga kamu terjatuh. Atau bayangkan ketika kamu berangkat kerja dengan rapi dan wangi, tiba-tiba ada mobil yang lewat dan menyipratkan genangan air ke bajumu.

Bagaimana reaksimu? Marah, panik, atau overthinking? Jika iya, mungkin kamu butuh membaca buku Filosofi Teras karya Henry Sinampiring ini.

Sinopsis

Filosofi teras atau Stoisisme adalah aliran filsafat Yunani Romawi kuno yang berusia 2.300 tahun lamanya. Stoisisme bukan agama kepercayaan, tapi ketika membaca ini saya merasa ada persamaan secara umum antara Stoisisme dengan agama yang saya anut, bahkan mungkin relevan juga dengan agama-agama lainnya. Karena pada dasarnya Stoisisme adalah hidup dalam kebajikan dan mengikuti hukum alam.

Jika kita beragama, hukum alam adalah hukumnya Tuhan, melawan atau mengingkari apa yang telah terjadi artinya keluar dari keselarasan dengan alam, atau tak menerima ketentuan Tuhan. Bedanya, ajaran Stoisisme lebih universal, lebih kompatible dan komplementer dengan berbagai kepercayaan.

Dikotomi Kendali

“Ada hal-hal yang berada di bawah kendali kita, ada hal-hal yang tidak berada di bawah kendali (tergantung pada) kita” – Epictetus (Enchiridion)

Prinsip fundamental dalam stoisisme disebut juga dengan “dikotomi kendali”, yaitu ada hal-hal yang bisa kita kendalikan dan ada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Berdasarkan ajaran Stoisisme, orang yang bijak adalah orang yang mampu mengendalikan kedua kategori ini dalam kehidupannya.

Hal -hal yang tidak bisa kita kendalikan adalah kekayaan, reputasi, kesehatan, opini dan persepsi orang lain. Hal-hal yang bisa kita kendalikan adalah pikiran, opini, persepsi dan tindakan kita sendiri.

Misalnya, kita ambil salah satu contoh kasus yang saya sebut di atas. Hal yang tidak bisa kita kendalikan adalah perlakuan orang terhadap kita, seperti sikap ketus tetangga. Sedangkan hal yang bisa kita kendalikan adalah pikiran kita terhadap orang tersebut. Kita bisa berpikir positif terhadapnya, siap tahu dia lagi sakit gigi, atau lagi PMS. Dengan demikian kita tidak perlu buang-buang energi dan waktu untuk berpikiran negatif.

“Kamu memiliki kendali atas pikiranmu— Bukan kejadian-kejadian di Luar sana. Sadari ini, dan kamu akan menemukan kekuatan” — Markus Aurelius

Trikotomi Kendali

Ketika dikotomi kendali terlalu sederhana untuk kehidupan yang rumit, William Irvine membuat teori “trikotomi kendali”. Yaitu hal-hal yang masih bisa kita kendalikan sebagian, seperti urusan bisnis, pendidikan, dan karir. Pada prinsipnya trikotomi kendali adalah memisahkan antara usaha dengan hasil. Usaha adalah hal yang bisa kita kendalikan, sedangkan hal yang tidak bisa kendalikan adalah hasil dan hal-hal tak terduga lain yang bisa terjadi.

Misalkan, kita akan ada rapat penting dengan klien di kantor. Hal yang bisa kita kendalikan adalah mempersiapkan materi rapat tersebut dengan sebaik-baiknya. Sedangkan hal yang tidak bisa kita kendalikan adalah hasil dari rapat tersebut (bisa baik atau buruk). Selain itu, hal yang tidak bisa kita kendalikan adalah hal-hal yang tak terduga, misalkan terciprat genangan air di jalan saat akan berangkat ke kantor.

Dalam ajaran Stoic, segala hal yang tidak bisa dikendalikan adalah indifferent, artinya tidak memiliki pengaruh terhadap baik buruknya kehidupan kita. Stoisisme mengajarkan kita untuk belajar tidak menginginkan hal-hal di luar kendali kita.

S-T-A-R

Stoisime juga mengajarkan rumus untuk mengatasi emosi negatif yang dikenal dengan S-T-A-R (Stop, Thinking & Assess, Respond). STOP, jadi ketika kita merasakan emosi negatif, secara sadar kita harus berhenti. Jangan larut dalam perasaan itu. THINK & ASSESS, setelah menghentikan emosi negatif sejenak, barulah kita mulai berpikir dan menilai. Apakah perasaan saya ini bisa dibenarkan atau tidak? Apakah emosi saya ini terjadi karena sesuatu yang bisa dikendalikan atau tidak?

RESPOND, Setelah kita menggunakan akal sehat kita, barulah kita memikirkan respon apa yang sebaiknya kita berikan. Respon bisa berupa ucapan atau tindakan.

Misalkan, ketika sedang berkendara tiba-tiba segerombolan kambing muncul ke tengah jalan, sehingga membuat kita harus membating setir dan mengakibatkan kecelakaan. Mungkin kita akan merasa kesal dengan si pengembala kambing atau bahkan dengan segerombolan kambing yang tak tahu peraturan lalu lintas. 

Maka berhenti sejenak untuk menenangkan diri, lalu berpikir dan menilai. Apakah munculnya kambing adalah hal yang bisa saya kendalikan? Tidak. Penggembala kambing yang lalai dan kambing yang tak tahu peraturan lalu lintas bukan hal yang bisa kendalikan. Hal yang bisa kita kendalikan adalah memakai alat pengaman diri dengan lengkap dan menaati peraturan lalu lintas.

Semua hal yang tidak ada di bawah kendali kita tidak seharusnya membuat kita marah. Setelah itu barulah kita bisa merespon dengan ucapan misalnya, yaitu mengingatkan si pengembala kambing untuk berhati-hati (jika belum kabur). Atau dengan tindakan, yaitu segera bangkit dan mencari pertolongan untuk mengobati luka.

S-T-A-R mengingatkan saya akan sebuah riwayat hadits dari Abu Dzar RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kalian marah, dan dia dalam posisi berdiri, hendaknya dia duduk. Karena dengan itu marahnya bisa hilang. Jika belum juga hilang, hendak dia mengambil posisi tidur.” (HR Ahmad 21348, Abu Daud 4782, dan perawinya dinilai shahih oleh Syu’aib Al-Arnauth).

Intinya adalah tidak ada satu pun tindakan baik yang akan kita lakukan ketika marah. Maka lebih baik untuk menenangkan diri agar bisa berpikir rasional dan memberikan respon yang baik dengan kepala dingin.

Lebih jauh lagi, stoisisme juga mengajarkan kita bagaimana menghadapi orang yang menyebalkan, bagaimana menyikapi musibah, cara menerapkan stoisime pada ilmu parenting, bagaimana menjadi warga dunia yang baik, bahkan bagimana menyikapi kematian.

Kelebihan

Filosofi teras merupakan buku panduan praktis dan sederhana untuk memperkenalkan Stosisme. Bahasanya mudah dipahami, disandingkan dengan wawancara para ahli dan praktisi stoisisme, yang membuat buku ini menjadi buku filosofi yang ringan dan tidak membosankan.

Kekurangan

Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi penulis. Sudah pasti sebagian besar isinya berasal dari sudut pandang penulis. Sehingga, untuk yang ingin mengenal Stoisime lebih dalam, buku ini kurang detail dan ajaran kebajikan di dalamnya adalah hal yang terlalu umum dan klise.

Penutup

Meskipun ajarannya terkesan klise, saya sangat setuju dengan pernyataan bahwa “tidak ada hal yang baru di dunia ini”. Semuanya pernah terjadi di masa lampau dan akan terulang di masa mendatang. Itulah mengapa ajaran Stoisisme masih sangat relevan dengan permasalahan yang terjadi di jaman sekarang.

Bagi para Stoic, filosofi teras adalah the way of life. Bagi saya, pedoman hidup tetaplah agama yang saya yakini, dan filosofi teras telah memperkuat keyakinan itu. Terimakasih Filosofi teras.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *